Sejak kecil aku selalu menjadi anak penurut,
menurutku sih,,. Apa yang menjadi perintah kedua orang tua bagiku menjadi
kewajiban yang harus aku lakukan. Perintah mencari kayu bakar, mencari rumput
untuk ternak, memijat bila diminta dan lain sebagainya.
Masalah pendidikan pun aku tidak meminta sekolah
di sini atau disana. Aku mungkin bisa saja masuk SMP di sekolah negeri favorit
di desaku, namun hal itu tidak aku lakukan karena waktu itu transportasi masih
sulit. Aku memilih mengikuti apa yang disampaikan sekolah yang terdekat,
sekolah yang lebih terjangkau biayanya. Jalan bersama teman-teman menyusuri
jalan setapak, menyeberangi sungai itulah masa-masa indah diwaktu SMP.
Tidak banyak wejangan atau kalau saat ini
tausiyah yang disampaikan kedua orang tua. Hanya beberapa perintah “ gek sinau
le” , “gek adus le” , “ aja dolan ae nganti lali omah” . Kata – kata itu lah
yang masih terngiang, tidak ada bentakan, makian doa jelek yang terlontar dari
kedua orang tua.
Waktu itu Pendidikan belum banyak ditekankan
didaerahku. Dari siswa SD seangkatanku, tidak semua melajutkan ke SMP. Mereka
ada yang tertarik ikut merantau ke Jakarta karena tergiur mendapatkan uang, karena
ada saudara yang membawanya, ada juga yang beralasan tidak mau berfikir, tidak
ada biaya. Itulah pemikiran anak lulusan SD tahun 90-an.
Dari semua siswa lulusan SD seangkatanku,
seingatku tinggal Sikun, Budi, Iswanto, Febriana dan aku yang melanjutkan
Sekolah Menengah Atas/Sederajat.
Status anak penurut pada diriku sekali lagi teruji
saat lulus dari SMP untuk sekolah kejuruan (otomotif). Menurut kedua orang
tuaku setelah sekolah kejuruan otomotif mungkin kedepannya aku bisa membuka
bengkel sendiri. Akupun menurut saja untuk sekolah kejuruan tersebut. Walau
sebenarnya dalam hati aku pengen untuk belajar dipondok pesantren.
Awal masuk SMK aku harus masuk siang hari. Perjalanan ke sekolah sekitar 40-60 menit ikut kendaraan umum. Itupun aku harus berjalan ke jalan umum tempat menanti Bus sekitar 30-40 menit.
Perjalanan pulang lah yang membutuhkan tambahan
semangat sekolah. Dari sekolah SMK PGRI
2 Ponorogo pulangnya jam 17.30 wib.
Kendaraan umum sudah tidak ada, aku bersama
teman-teman biasanya menyetop kendaraan truk untuk kita tumpangi sampai ke
ngepal.
Sampai ngepal tidak tentu waktu sampainya, bisa
jam 19.30 wib, jam 20.00 wib, tinggal tumpangan mobilnya segera dapat atau
tidak.
Setelah satu semester menjalani perjalanan
seperti itu, suatu ketika aku berbicang-bincang dengan salah satu teman kelas
yang ternyata ia mondok di Jarakan, Banyudono, Ponorogo.
Dari sinilah awal aku akhirnya aku mondok disana
sampai lulus dan mendapatkan banyak ilmu, pengalaman hidup yang berguna bagi
kehidupanku selanjutnya.
Dari cerita ini aku menyimpulkan bahwa anak
penurut itu suatu saat akan memperoleh apa yang ia impikan.
No comments:
Post a Comment